Makna yang terkandung dalam tenun ikat Dayak nyaris punah dikarenakan belum
ada cukup orang yang mau memperhatikan keberadaan tenun ikat itu sendiri.
Terutama bila hal tersebut dikaitkan dengan munculnya perubahan sosial dan
ekonomi pada masyarakat Dayak yang memaksa terjadinya perubahan kebudayan
termasuk budaya menenun secara tradisional. Penenun sudah tidak lagi melakukan
ritual-ritual yang telah dilakukan oleh penenun terdahulunya. Bagi para penenun
rumah betang Ensaid Panjang, alam
bukanlah satu-satunya sebagai sumber inspirasi dalam membuat motif tenun ikat.
Mereka lebih mengeksplorasi imajinasi mereka pada motif-motif tenun ikat yang
mereka buat. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan muncul sindiran bahwa menenun
merupakan kegiatan masyarakat yang primitif dan terbelakang. Meski demikian, di
balik rumah-rumah adat sejumlah perempuan Dayak tetap bertahan dalam tradisi
menenun. Di ruai rumah betang, mereka berkumpul dan melakukan
kegiatan menenun.
Kini rumah betang yang menjadi
hunian orang Dayak berangsur-angsur menghilang di Kalimantan. Kalau pun masih
bisa ditemukan, penghuninya tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama,
tempat keluarga bernaung, tumbuh, dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah betang tinggal menjadi kenangan bagi
sebagian besar orang Dayak. Mereka kini cenderung memilih tempat tinggal di
rumah-rumah tunggal atau bahkan di perumahan. Di beberapa tempat terpencar,
rumah betang dipertahankan sebagai
tempat untuk para wisatawan. Sebut saja, Lamin Mancong di Jempang dan Lamin
Eheng di Barong Tongkok, Kalimantan Timur. Di Palangka Raya terdapat sebuah
rumah betang yang dibangun tahun
1990-an tetapi lebih terlihat sebagai monumen yang tidak dihuni. Di Kampung
Pagal I salah satu kampung orang Dayak Desa rumah betang didirikan di pojok lapangan kampung tersebut. Rumah betang itu hanya digunakan untuk gawai adat (Alloy, 2008:119).
Beberapa generasi muda dari orang Dayak, kini tidak lagi hidup dan
dibesarkan di rumah betang. Bahkan
tidak sedikit dari mereka yang mengutarakan bahwa mereka tidak mengetahui di
mana rumah betang bisa dilihat. Rumah
betang konon hanya bisa ditemukan di
pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa mengetahui persis lokasinya. Pernyataan
tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah betang hanya tinggal sebagai cerita dari tradisi yang bersosiasi
dengan keterbelakangan dan ketertinggalan dari gaya hidup modern (Laksono,
2006:75-76).
Rumah betang tinggal sebagai
kenangan bila banyak dari masyarakat Dayak yang tidak memperdulikan
keberadaannya. Ester Deviyanti merupakan salah satu dari generasi muda Dayak
yang hidup dan dibesarkan di rumah betang.
Terlihat dari ungkapan Ester yang polos saat ditanya setelah selesai kuliah
akankah tinggal di rumah betang atau
tidak.
”Ah..ngga tau kak. Kalau untuk tinggal di
rumah betang nantinya. Aku kalau libur
biasanya lebih sering pulang ke Sintang di tempat kakak sepupu sih. Jarang
juga pulang ke rumah betang ini
kak. Kalau ngga pas libur panjang atau pas ada gawai aja aku pulang ke sini.”
|
Begitu pula dengan
ungkapan dari Patricia Yofika Adiestari salah satu generasi muda yang tinggal
di daerah perkotaan, “Aku jak selama
ini tau rumah betang dari guruku yang cerita. Mungkin kalau nai tamai kakak penelitian, aku ngga pernah liat rumah betang
kak. Baru ini aku lihat dan singgah di betang.”
Keberadaan tenun ikat Dayak tidak
lepas dari proses interaksi masyarakat Dayak. Penggunaan tenun ikat pada gawai adat, penikahan adat, maupun
acara-acara adat lainnya. Sekarang ini penggunaan tenun ikat sudah sembarang.
Pemakai tinggal memakai motif mana yang menurut mereka bagus untuk mereka
kenakan. Hal ini dilakukan oleh Suryati, dia mengakui bahwa sekarang tidak ada
aturan khusus motif mana yang harus dikenakan dalam suatu kegiatan masyarakat
Dayak. Demikian pula dengan Yovi salah satu mahasiswa Dayak yang berkuliah di
kota Pontianak yang memakai tenun ikat pada acara-acara tertentu juga manasuka.
Tidak melihat motif tertentu yang harus dipakainya, seperti yang dilakukan saat
menghadiri pernikahan, acara gawai,
maupun saat ikut serta dalam paduan suara. Yovi mengenakan tenun ikat
tergantung pada motif, bila bagus maka akan dikenakan olehnya.
Lain halnya
dengan Paulina Irna dan Isak Dani mahasiswa Dayak yang berkuliah di kota
Yogyakarta beranggapan bahwa sekarang ini tidak ada aturan khusus dalam
pemakaian tenun ikat. Mereka tidak pernah mendengar ada motif-motif tertentu
yang harus dikenakan. Dalam mengenakan tenun ikat pada acara-acara tertentu
mereka melihat apakah motif tersebut bagus untuk dikenakan atau tidak, bila
bagus maka akan mereka kenakan.
Ungkapan bahwa ”eksistensi tenun ikat hilang, budaya
Dayak pun punah” akan terjadi apabila anak muda pada generasi sekarang sudah
tidak tertarik lagi pada seni tenun. Sekarang ini tenun
ikat kurang populer dan kurang diminati oleh gadis-gadis Dayak. Hanya sedikit
wanita yang mau menekuni pembuatan tenun ikat bahkan ada juga gadis-gadis muda
Dayak yang tidak tahu bagaimana cara menenun. Tari mengaku tak pernah belajar
menenun, selain dikarenakan ibunya bukan seorang penenun dia juga tidak begitu
tertarik untuk belajar menenun. Begitu halnya dengan Ester, dia tidak tahu akan
serius untuk menekuni tenun ikat ataukah tidak. Hal ini dibenarkan oleh Lusia
yang menyatakan bahwa adanya keenganan dari anak muda untuk belajar menenun
secara serius.
Ada banyak dari generasi muda Dayak
yang tidak bisa lagi menenun. Hal tersebut dikarenakan ibu mereka bukanlah
seorang penenun tenun ikat Dayak. Meskipun demikian mereka semua memiliki tenun
ikat Dayak dari syal hingga baju. Namun sayang banyak dari generasi muda Dayak
tidak mengetahui arti dan makna dari setiap motif yang terkandung dalam kain
tenun ikat.
Kekurangtahuan informasi mengenai
makna dan arti dari motif-motif yang terkandung dalam tenun ikat Dayak
disebabkan karena kurangnya informasi mengenai tenun ikat. Tradisi lisan yang
diturunkan pada generasi muda Dayak pun perlahan menghilang. Cerita-cerita
dibalik tenun ikat hanya diketahui oleh kakek nenek mereka. Kusni (1994:24) menyatakan pesan-pesan
lisan yang disampaikan atas dasar pesan-pesan lisan sebelumnya, berlangsung
paling tidak selama satu generasi. Prosesnya adalah penyampaian pesan-pesan
yang berlangsung dari mulut ke mulut sampai dengan menghilangnya pesan-pesan
tersebut. Terungkap dari cerita Ester tentang ketidakmengertiannya makna dari
motif-motif tenun ikat. Hal yang sama juga dibenarkan
oleh Tari yang tidak tahu sama sekali arti dan makna dari motif-motif tenun
ikat, meski Tari sering menggunakannya untuk menari. Tak berbeda dengan mereka,
Irna dan Isak juga mengakui bahwa mereka tidak begitu paham dan tidak tahu
cerita dibalik tenun ikat. Ada beberapa motif dari tenun ikat yang mereka
mengerti maknanya namun selebihnya mereka tidak mengerti. Mereka mengaku orang
tua mereka tidak pernah memberitahu arti-arti dan maksud dari motif yang
terdapat dalam tenun ikat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mering (2000) bahwa
tenun ikat Dayak telah menjelma dari dan menjadi suatu ekspresi kosmologi
manusia Dayak yang pernah hidup di zamannya dan sekarang hanya tinggal segelintir
saja. Apabila generasi ini telah berlalu, maka sudah dapat dipastikan bahwa
tidak akan ada lagi para penutur bijak, seperti generasi di rumah betang tempo
dulu.
Referensi
Alloy, Sujarni. Albertus dan Chatarina P. I. 2008, Mozaik Dayak; Keberagaman Subsuku dan Bahasa
Dayak di Kalimantan Barat,
Institut Dayakologi, Pontianak.
Laksono, P.M. 2006, Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia;
Belajar dari Tjilik Riwut, Galangpress, Yogyakarta.
Kusni, JJ. 1994, Dayak Membangun, LPPSD, Jakarta.
Mering, Alexsander. 2000, ”Tenun Ikat Dayak : Ekspresi Kosmologi
Manusia Dayak”. Makalah Seminar mengenai Restitusi dan Revitalisasi
Kebudayaan Dayak, Pontianak pada Rabu, 14 Juni 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar