Rabu, 01 Oktober 2014

Eksistensi tenun ikat hilang, budaya Dayak pun musnah.


Makna yang terkandung dalam tenun ikat Dayak nyaris punah dikarenakan belum ada cukup orang yang mau memperhatikan keberadaan tenun ikat itu sendiri. Terutama bila hal tersebut dikaitkan dengan munculnya perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat Dayak yang memaksa terjadinya perubahan kebudayan termasuk budaya menenun secara tradisional. Penenun sudah tidak lagi melakukan ritual-ritual yang telah dilakukan oleh penenun terdahulunya. Bagi para penenun rumah betang Ensaid Panjang, alam bukanlah satu-satunya sebagai sumber inspirasi dalam membuat motif tenun ikat. Mereka lebih mengeksplorasi imajinasi mereka pada motif-motif tenun ikat yang mereka buat. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan muncul sindiran bahwa menenun merupakan kegiatan masyarakat yang primitif dan terbelakang. Meski demikian, di balik rumah-rumah adat sejumlah perempuan Dayak tetap bertahan dalam tradisi menenun. Di ruai rumah betang, mereka berkumpul dan melakukan kegiatan menenun.
Kini rumah betang yang menjadi hunian orang Dayak berangsur-angsur menghilang di Kalimantan. Kalau pun masih bisa ditemukan, penghuninya tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama, tempat keluarga bernaung, tumbuh, dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah betang tinggal menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Mereka kini cenderung memilih tempat tinggal di rumah-rumah tunggal atau bahkan di perumahan. Di beberapa tempat terpencar, rumah betang dipertahankan sebagai tempat untuk para wisatawan. Sebut saja, Lamin Mancong di Jempang dan Lamin Eheng di Barong Tongkok, Kalimantan Timur. Di Palangka Raya terdapat sebuah rumah betang yang dibangun tahun 1990-an tetapi lebih terlihat sebagai monumen yang tidak dihuni. Di Kampung Pagal I salah satu kampung orang Dayak Desa rumah betang didirikan di pojok lapangan kampung tersebut. Rumah betang itu hanya digunakan untuk gawai adat (Alloy, 2008:119).
Beberapa generasi muda dari orang Dayak, kini tidak lagi hidup dan dibesarkan di rumah betang. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengutarakan bahwa mereka tidak mengetahui di mana rumah betang bisa dilihat. Rumah betang konon hanya bisa ditemukan di pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa mengetahui persis lokasinya. Pernyataan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah betang hanya tinggal sebagai cerita dari tradisi yang bersosiasi dengan keterbelakangan dan ketertinggalan dari gaya hidup modern (Laksono, 2006:75-76).
Rumah betang tinggal sebagai kenangan bila banyak dari masyarakat Dayak yang tidak memperdulikan keberadaannya. Ester Deviyanti merupakan salah satu dari generasi muda Dayak yang hidup dan dibesarkan di rumah betang. Terlihat dari ungkapan Ester yang polos saat ditanya setelah selesai kuliah akankah tinggal di rumah betang atau tidak.



”Ah..ngga tau kak. Kalau untuk tinggal di rumah betang nantinya. Aku kalau libur biasanya lebih sering pulang ke Sintang di tempat kakak sepupu sih. Jarang juga pulang ke rumah betang ini kak. Kalau ngga pas libur panjang atau pas ada gawai aja aku pulang ke sini.”






Begitu pula dengan ungkapan dari Patricia Yofika Adiestari salah satu generasi muda yang tinggal di daerah perkotaan, “Aku jak selama ini tau rumah betang dari guruku yang cerita. Mungkin kalau nai tamai kakak penelitian, aku ngga pernah liat rumah betang kak. Baru ini aku lihat dan singgah di betang.
Keberadaan tenun ikat Dayak tidak lepas dari proses interaksi masyarakat Dayak. Penggunaan tenun ikat pada gawai adat, penikahan adat, maupun acara-acara adat lainnya. Sekarang ini penggunaan tenun ikat sudah sembarang. Pemakai tinggal memakai motif mana yang menurut mereka bagus untuk mereka kenakan. Hal ini dilakukan oleh Suryati, dia mengakui bahwa sekarang tidak ada aturan khusus motif mana yang harus dikenakan dalam suatu kegiatan masyarakat Dayak. Demikian pula dengan Yovi salah satu mahasiswa Dayak yang berkuliah di kota Pontianak yang memakai tenun ikat pada acara-acara tertentu juga manasuka. Tidak melihat motif tertentu yang harus dipakainya, seperti yang dilakukan saat menghadiri pernikahan, acara gawai, maupun saat ikut serta dalam paduan suara. Yovi mengenakan tenun ikat tergantung pada motif, bila bagus maka akan dikenakan olehnya.
Lain halnya dengan Paulina Irna dan Isak Dani mahasiswa Dayak yang berkuliah di kota Yogyakarta beranggapan bahwa sekarang ini tidak ada aturan khusus dalam pemakaian tenun ikat. Mereka tidak pernah mendengar ada motif-motif tertentu yang harus dikenakan. Dalam mengenakan tenun ikat pada acara-acara tertentu mereka melihat apakah motif tersebut bagus untuk dikenakan atau tidak, bila bagus maka akan mereka kenakan.
Ungkapan bahwa ”eksistensi tenun ikat hilang, budaya Dayak pun punah” akan terjadi apabila anak muda pada generasi sekarang sudah tidak tertarik lagi pada seni tenun. Sekarang ini tenun ikat kurang populer dan kurang diminati oleh gadis-gadis Dayak. Hanya sedikit wanita yang mau menekuni pembuatan tenun ikat bahkan ada juga gadis-gadis muda Dayak yang tidak tahu bagaimana cara menenun. Tari mengaku tak pernah belajar menenun, selain dikarenakan ibunya bukan seorang penenun dia juga tidak begitu tertarik untuk belajar menenun. Begitu halnya dengan Ester, dia tidak tahu akan serius untuk menekuni tenun ikat ataukah tidak. Hal ini dibenarkan oleh Lusia yang menyatakan bahwa adanya keenganan dari anak muda untuk belajar menenun secara serius.
Ada banyak dari generasi muda Dayak yang tidak bisa lagi menenun. Hal tersebut dikarenakan ibu mereka bukanlah seorang penenun tenun ikat Dayak. Meskipun demikian mereka semua memiliki tenun ikat Dayak dari syal hingga baju. Namun sayang banyak dari generasi muda Dayak tidak mengetahui arti dan makna dari setiap motif yang terkandung dalam kain tenun ikat.
Kekurangtahuan informasi mengenai makna dan arti dari motif-motif yang terkandung dalam tenun ikat Dayak disebabkan karena kurangnya informasi mengenai tenun ikat. Tradisi lisan yang diturunkan pada generasi muda Dayak pun perlahan menghilang. Cerita-cerita dibalik tenun ikat hanya diketahui oleh kakek nenek mereka. Kusni (1994:24) menyatakan pesan-pesan lisan yang disampaikan atas dasar pesan-pesan lisan sebelumnya, berlangsung paling tidak selama satu generasi. Prosesnya adalah penyampaian pesan-pesan yang berlangsung dari mulut ke mulut sampai dengan menghilangnya pesan-pesan tersebut. Terungkap dari cerita Ester tentang ketidakmengertiannya makna dari motif-motif tenun ikat. Hal yang sama juga dibenarkan oleh Tari yang tidak tahu sama sekali arti dan makna dari motif-motif tenun ikat, meski Tari sering menggunakannya untuk menari. Tak berbeda dengan mereka, Irna dan Isak juga mengakui bahwa mereka tidak begitu paham dan tidak tahu cerita dibalik tenun ikat. Ada beberapa motif dari tenun ikat yang mereka mengerti maknanya namun selebihnya mereka tidak mengerti. Mereka mengaku orang tua mereka tidak pernah memberitahu arti-arti dan maksud dari motif yang terdapat dalam tenun ikat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mering (2000) bahwa tenun ikat Dayak telah menjelma dari dan menjadi suatu ekspresi kosmologi manusia Dayak yang pernah hidup di zamannya dan sekarang hanya tinggal segelintir saja. Apabila generasi ini telah berlalu, maka sudah dapat dipastikan bahwa tidak akan ada lagi para penutur bijak, seperti generasi di rumah betang tempo dulu.
Referensi
Alloy, Sujarni. Albertus dan Chatarina P. I. 2008, Mozaik Dayak; Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi, Pontianak.
Laksono, P.M. 2006, Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia; Belajar dari Tjilik Riwut, Galangpress, Yogyakarta.
Kusni, JJ. 1994, Dayak Membangun, LPPSD, Jakarta.
Mering, Alexsander. 2000, ”Tenun Ikat Dayak : Ekspresi Kosmologi Manusia Dayak”. Makalah Seminar mengenai Restitusi dan Revitalisasi Kebudayaan Dayak, Pontianak pada Rabu, 14 Juni 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar