Kain tenun ikat merupakan kain tenun yang merupakan hasil
gagasan asli. Kain tersebut muncul dari proses kegiatan kebudayaan manusia
Dayak khususnya yang ada di Kabupaten Sintang. Kain tenun ini lahir,
diciptakan, dan diproses secara alami. Pada proses pembuatannya menggunakan
tata aturan tertentu, tradisional, dan menggunakan bahan-bahan alami berasal
dari tumbuhan maupun hewan yang banyak terdapat disekitar lingkungan masyarakat
setempat.
Pada jaman dahulu penenun membuat benang dari kapas. Kapas
dicincang, dijemur, lantas dicincang lagi, kemudian barulah dipintal menjadi
benang. Bahan-bahan pewarna diambil dari alam menurut pengetahuan para penenun
asli masyarakat setempat.
Terdapat perbedaan antara tenun ikat Dayak asli dengan jenis
tenun ikat yang sekarang ini banyak diproduksi dengan menggunakan benang (bahan
jadi) dan zat pewarna kimia. Hal ini menyebabkan beberapa proses yang
mengandung nilai ritual bagi sebuah tenun ikat tidak lagi dilaksanakan.
Sehingga terdapat perbedaan antara kain besuoh
yang berarti kain masak dengan kain mata’. Kain masak yaitu pada proses pembuatannya dilakukan secara lengkap dan
telah memenuhi prasyarat adat maupun tata ketentuan tertentu. Kain mata’ yaitu kain yang tanpa melewati
persyaratan-persayaratan adat (Mering, 2000).
Kain tenun ikat Dayak adalah salah satu seni budaya yang
dikembangkan oleh komunitas etnis Dayak di Kalimantan Barat. Etnis Dayak adalah
etnis tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Subetnis Dayak Iban, Kantuk, Desa,
Ketungau, dan Mualang yang berada di Kalimantan Barat dikenal sebagai penghasil
kain tenun tua.
Tenun ikat merupakan sebuah teknik menenun, pola kain
dibuat dengan cara mengikat benang dengan benang penahan celup. Benang yang
telah diikat kemudian dicelup berkali-kali agar memperoleh pola yang diinginkan
penenun. Benang yang telah mempunyai pola kemudia ditenun. Teknik ikat
merupakan teknik celup tertua di dunia.
Tenun ikat sudah semakin sulit dijumpai pada akhir tahun
1980an. Banyak kain tua yang dijual kepada pembeli dari luar seiring populernya
kain ini di Eropa dan Amerika,sementara penenun semakin sulit dijumpai di
kampung-kampung. Orang-orang tua yang pintar menenun sudah semakin berkurang
dan keahliannya tidak diturunkan kepada generasi muda. Kain-kain tua hanya
dijumpai pada keluarga-keluarga yang masih menghargai kain sebagai warisan
nenek moyang yang harus disimpan.
Melihat kondisi tenun ikat,
pemerintah setempat dan individu secara perlahan mulai menghidupkan kembali
kegiatan menenun. Pada tahun 1999, beberapa organisasi nonpemerintah (NGO)
membangun kolaborasi dengan Yayasan KOBUS (Komunikasi Budaya Seni) dan
PRCF/PRCF Indonesia, atas dukungan Ford
Foundation. Upaya tersebut dibangun melalui program yang dinamakan
Restorasi Tenun Ikat Dayak. Mereka mulai terlibat untuk menghidupkan kembali kegiatan
menenun. Kini Kabupaten Sintang terkenal dengan kain tenun ikat. Pada akhirnya
masyarakat Sintang bangga mengkoleksi dan memakai kain tenun ikat (Andrian,
2007:1).
Referensi
Andrian.
2007, “Warisan Pusaka Indonesia Tenun Ikat Dayak: Kain Terindah Incaran
Kolektor”, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=
174180
Mering, Alexsander. 2000, ”Tenun Ikat Dayak : Ekspresi Kosmologi
Manusia Dayak”. Makalah Seminar mengenai Restitusi dan Revitalisasi
Kebudayaan Dayak, Pontianak pada Rabu, 14 Juni 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar