Rabu, 01 Oktober 2014

Tenun Ikat Dayak Sintang



Kain tenun ikat merupakan kain tenun yang merupakan hasil gagasan asli. Kain tersebut muncul dari proses kegiatan kebudayaan manusia Dayak khususnya yang ada di Kabupaten Sintang. Kain tenun ini lahir, diciptakan, dan diproses secara alami. Pada proses pembuatannya menggunakan tata aturan tertentu, tradisional, dan menggunakan bahan-bahan alami berasal dari tumbuhan maupun hewan yang banyak terdapat disekitar lingkungan masyarakat setempat.
Pada jaman dahulu penenun membuat benang dari kapas. Kapas dicincang, dijemur, lantas dicincang lagi, kemudian barulah dipintal menjadi benang. Bahan-bahan pewarna diambil dari alam menurut pengetahuan para penenun asli masyarakat setempat.
Terdapat perbedaan antara tenun ikat Dayak asli dengan jenis tenun ikat yang sekarang ini banyak diproduksi dengan menggunakan benang (bahan jadi) dan zat pewarna kimia. Hal ini menyebabkan beberapa proses yang mengandung nilai ritual bagi sebuah tenun ikat tidak lagi dilaksanakan. Sehingga terdapat perbedaan antara kain besuoh yang berarti kain masak dengan kain mata’. Kain masak yaitu pada proses pembuatannya dilakukan secara lengkap dan telah memenuhi prasyarat adat maupun tata ketentuan tertentu. Kain mata’ yaitu kain yang tanpa melewati persyaratan-persayaratan adat (Mering, 2000).
Kain tenun ikat Dayak adalah salah satu seni budaya yang dikembangkan oleh komunitas etnis Dayak di Kalimantan Barat. Etnis Dayak adalah etnis tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Subetnis Dayak Iban, Kantuk, Desa, Ketungau, dan Mualang yang berada di Kalimantan Barat dikenal sebagai penghasil kain tenun tua.

Gambar 1. Motif-motif tenun ikat Dayak.

Tenun ikat merupakan sebuah teknik menenun, pola kain dibuat dengan cara mengikat benang dengan benang penahan celup. Benang yang telah diikat kemudian dicelup berkali-kali agar memperoleh pola yang diinginkan penenun. Benang yang telah mempunyai pola kemudia ditenun. Teknik ikat merupakan teknik celup tertua di dunia.
Tenun ikat sudah semakin sulit dijumpai pada akhir tahun 1980an. Banyak kain tua yang dijual kepada pembeli dari luar seiring populernya kain ini di Eropa dan Amerika,sementara penenun semakin sulit dijumpai di kampung-kampung. Orang-orang tua yang pintar menenun sudah semakin berkurang dan keahliannya tidak diturunkan kepada generasi muda. Kain-kain tua hanya dijumpai pada keluarga-keluarga yang masih menghargai kain sebagai warisan nenek moyang yang harus disimpan.
Melihat kondisi tenun ikat, pemerintah setempat dan individu secara perlahan mulai menghidupkan kembali kegiatan menenun. Pada tahun 1999, beberapa organisasi nonpemerintah (NGO) membangun kolaborasi dengan Yayasan KOBUS (Komunikasi Budaya Seni) dan PRCF/PRCF Indonesia, atas dukungan Ford Foundation. Upaya tersebut dibangun melalui program yang dinamakan Restorasi Tenun Ikat Dayak. Mereka mulai terlibat untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun. Kini Kabupaten Sintang terkenal dengan kain tenun ikat. Pada akhirnya masyarakat Sintang bangga mengkoleksi dan memakai kain tenun ikat (Andrian, 2007:1).

Referensi
Andrian. 2007, “Warisan Pusaka Indonesia Tenun Ikat Dayak: Kain Terindah Incaran Kolektor”, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id= 174180

Mering, Alexsander. 2000, ”Tenun Ikat Dayak : Ekspresi Kosmologi Manusia Dayak”. Makalah Seminar mengenai Restitusi dan Revitalisasi Kebudayaan Dayak, Pontianak pada Rabu, 14 Juni 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar