Rabu, 01 Oktober 2014

Makna Filosofi Kehidupan pada Pembuatan Motif Tenun Ikat



Awal mulanya pembuatan kain tenun ikat merupakan sebuah rangkaian upacara tersendiri. Tenun ikat dipandang bukan lagi hanya sekedar sebagai sebuah karya semata-mata tetapi juga sebagai pengkosmos, sebagai sesuatu yang memiliki roh dan energi hidup. Tenun ikat adalah sesuatu yang sakral, yang mampu memberi tempat bagi pertemuan antara realitas fisik dan metafisik magis. Kehidupan manusia Dayak yang telah ditempa oleh alam, waktu, dan berbagai fenomena jagat telah membuatnya memiliki suatu pemahaman-pemahaman tertentu yang terkonsentrasi menjadi suatu kristalisasi format tertentu pula (Mering, 2000).
Lebih lanjut Mering (2000) menyatakan bahwa tradisi lisan Dayak, berbagai bentuk ritus-ritus kehidupan, penggunaan lambang-lambang, serta tenun ikat Dayak merupakan salah satu komponen dalam satu kesatuan proses bagaimana masyarakat Dayak menjaga keseimbangan tatanan kehidupan jagat agar tetap selaras. Lebih jauh lagi tenun ikat Dayak telah mengejawantahkan suatu ide hierofani, percampuran antara keindahan dan kesakralan, sebagai suatu ekspresi kosmologi manusia Dayak, di mana tenun ikat telah dilahirkan, hadir dan melembaga menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari seluruh fenomena kehidupan manusia Dayak dan semesta raya yang maha luas ini. Hal yang sama dikatakan oleh Maessen (2010) bahwa filosofi kehidupan bumi terkandung dalam setiap helai tenun ikat Dayak.

A.    Pemaknaan alam oleh penenun sebagai sumber inspirasi pada setiap motif tenun ikat dari sudut interaksi simbolik.
Masyarakat Dayak pada jaman dahulu mencoba merumuskan ide-ide fenomena dan gejala-gejala alam. Adanya sebuah energi kehidupan ke dalam suatu bentuk pemahaman tertentu. Pemahaman tertentu itu kemudian terakumulasi ke berbagai aktifitas kebudayaan mereka. Terlihat dari kehidupan masyarakatnya yang melompat dari upacara adat ke upacara adat, legenda, hidup, dan mitos yang telah menjadi suatu sistem budaya (Mering, 2000).
Kain tenun ikat merupakan hasil gagasan yang muncul dari proses kegiatan kebudayaan masyarakat Dayak. Kain tenun lahir, diciptakan, dan kemudian diproses secara alami. Proses pembuatan tenun ikat menggunakan aturan tertentu dan tradisional serta memakai bahan-bahan alami yang berasal dari lingkungan yang terdapat di sekitar tempat tinggal penenun.
Bahan-bahan dari alam dimanfaatkan oleh penenun untuk proses menenun mulai dari proses peminyakan benang, hingga pewarnaan benang. Suryati, wanita yang pernah menjabat sebagai ketua penenun di Komunitas Penenun Rumah Betang Ensaid Panjang, menggunakan lemak binatang yang dicampur dengan biji-bijian yang telah ditumbuk halus, campuran bahan tersebut lantas direbus bersama dengan air kelapa. Menurut Suryati air kelapa dapat membuat benang memiliki daya serap kuat ketika hendak diwarnai. Warna yang khas dari kain tenun ikat Dayak Sintang adalah warna merah kecokelatan dan biru kehitaman. Beberapa penenun mendapatkan bahan-bahan pewarna alam dari lingkungan di sekitar rumah betang. Seperti untuk menghasilkan warna merah didapat dari akar mengkudu, tanaman tarum atau indigo untuk warna biru kehitaman, warna kuning dari kunyit, dan warna hijau merupakan campuran kunyit dan indigo. Bahan-bahan pewarna tersebut dibersihkan terlebih dahulu, dikeringkan dan ditumbuk, kemudian barulah direbus untuk mendapatkan kepekatan warna.
Setting pedalaman dan jauh dari perkotaan melahirkan pemaknaan pada penenun bahwa pentingnya menjaga keseimbangan tatanan kehidupan agar tetap selaras. Mengakibatkan penenun yang tinggal di rumah betang akhirnya terbiasa hidup menggantungkan diri dari alam. Terlihat dari pola hidup masyarakatnya, contohnya kebutuhan makan mereka. Sayur yang mereka makan adalah hasil dari ladang dan tumbuhan yang mereka tanam, kemudian lauk dari hewan ternak yang dipelihara dan buah-buahan berasal dari ladang. Demikian juga zat pewarna yang digunakan oleh pernenun rumah betang diambil dari tumbuh-tumbuhan di sekitar lingkungan mereka.
Motif-motif tenun ikat yang didapatkan oleh penenun berasal dari nenek moyang. Para pendahulu meneruskan berbagai motif pada generasi setelahnya secara turun temurun. Dalam beberapa teks tradisi lisan (Dayak Ketungau dan Desa) terdapat rekaman biografi atau bentuk lain dari kehidupan kain tenun ikat. Dalam tradisi lisan itulah cerita-cerita tertentu mengenai tenun ikat menjadi satu dengan segala aspek kehidupan manusia Dayak. Tradisi lisan itu pula terdapat berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan (Mering, 2000).
Pentingnya alam bagi penenun pada akhirnya mempengaruhi motif tenun ikat yang mereka buat. Perilaku penenun yang menggantungkan diri pada alam, sehingga dalam tenun ikat Dayak bermotifkan tanaman dan hewan yang berada di sekitar penenun. Seperti tenun ikat dengan motif pakis, buah kelantang, dan kelangka yang sering dibuat oleh Suryati, tanaman-tanaman tersebut adalah tanaman yang terdapat disekitar tempat tinggalnya. Pakis adalah tanaman yang bisa dimakan, banyak orang Dayak memakan tanaman pakis. Bentuk tanaman pakis yang melengkung sering dibuat oleh penenun sebagai motif tenun ikat. Selain tanaman, hewan juga menjadi motif tenun ikat para penenun juga biasa menenun dengan motif ruwit. Menurut mereka untuk menenun motif ruwit ini harus sepasang, yang berarti sejenis ular yang sedang melingkar. Pucuk rebung merupakan motif lain yang sering dibuat oleh penenun. Bagi beberapa penenun bila pucuk rebung digunakan sebagai motif dalam kain tenun dipercaya akan mendatangkan banyak rejeki, hal tersebut juga diturunkan oleh nenek moyangnya. Hal ini membuat mereka sering menenun tenun ikat dengan motif pucuk rebung dan memadukannya dengan motif lain.
Penenun terbiasa hidup menggantungkan diri dari alam mendorong pemaknaan bahwa keseimbangan tatanan kehidupan agar tetap selaras harus dijaga. Akhirnya pemaknaan tersebut mempengaruhi perilaku penenun yang tertuang dalam bentuk motif tenun ikat. Alam menjadi sumber inspirasi dari motif tenun ikat yang mereka buat. Tumbuhan dan hewan yang ada disekitar lingkungan rumah betang tertuang dalam motif-motif tenun ikat yang mereka buat. Hal ini dibenarkan oleh Cala, seorang staff umum koperasi JMM (Jasa Menenun Mandiri) yang menyatakan bahwa masyarakat Dayak hidup berusaha menjaga harmoni dengan alam, dan hal itu tertuang dalam motif-motif tenun ikat yang mereka buat. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Maessen (2010) bahwa filosofi kehidupan bumi terkandung dalam setiap helai tenun ikat Dayak.
Manusia Dayak seperti yang dinyatakan oleh Mering (2000) telah mengalami berbagai pengalaman dengan alam, kemudian mereka dituntun kepada suatu penemuan-penemuan serta pemahaman baik secara individu maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat. Melalui proses tertentu akan melahirkan pemahaman-pemahaman bagaimana menjalani hidup dan kehidupan di alam lingkungannya. Pada akhirnya keberadaan tenun ikat sebagai wujud maupun konsep budaya yang merupakan blue print kehidupan manusia Dayak yang tampak sebagai satu kesatuan bersama sekian ribu milyar gugus partikel alam yang ada di jagad ini.

Referensi :

Mering, Alexsander. 2000, ”Tenun Ikat Dayak : Ekspresi Kosmologi Manusia Dayak”. Makalah Seminar mengenai Restitusi dan Revitalisasi Kebudayaan Dayak, Pontianak pada Rabu, 14 Juni 2000.
Maessen, Jacques. 2009, Filosofi Kehidupan Sintang, Traveler, Vol. 1 no. 3:63.



1 komentar: