Awal mulanya pembuatan kain tenun ikat merupakan sebuah
rangkaian upacara tersendiri. Tenun ikat dipandang bukan lagi hanya sekedar
sebagai sebuah karya semata-mata tetapi juga sebagai pengkosmos, sebagai
sesuatu yang memiliki roh dan energi hidup. Tenun ikat adalah sesuatu yang
sakral, yang mampu memberi tempat bagi pertemuan antara realitas fisik dan
metafisik magis. Kehidupan manusia Dayak yang telah ditempa oleh alam, waktu,
dan berbagai fenomena jagat telah membuatnya memiliki suatu pemahaman-pemahaman
tertentu yang terkonsentrasi menjadi suatu kristalisasi format tertentu pula
(Mering, 2000).
Lebih lanjut Mering (2000) menyatakan bahwa tradisi
lisan Dayak, berbagai bentuk ritus-ritus kehidupan, penggunaan lambang-lambang,
serta tenun ikat Dayak merupakan salah satu komponen dalam satu kesatuan proses
bagaimana masyarakat Dayak menjaga keseimbangan tatanan kehidupan jagat agar
tetap selaras. Lebih jauh lagi tenun ikat Dayak telah mengejawantahkan suatu
ide hierofani, percampuran antara
keindahan dan kesakralan, sebagai suatu ekspresi kosmologi manusia Dayak, di
mana tenun ikat telah dilahirkan, hadir dan melembaga menjadi suatu bagian yang
tak terpisahkan dari seluruh fenomena kehidupan manusia Dayak dan semesta raya
yang maha luas ini. Hal yang sama dikatakan oleh Maessen (2010) bahwa filosofi
kehidupan bumi terkandung dalam setiap helai tenun ikat Dayak.
A. Pemaknaan alam oleh
penenun sebagai sumber inspirasi pada setiap motif tenun ikat dari sudut
interaksi simbolik.
Masyarakat Dayak pada jaman
dahulu mencoba merumuskan ide-ide fenomena dan gejala-gejala alam. Adanya
sebuah energi kehidupan ke dalam suatu bentuk pemahaman tertentu. Pemahaman
tertentu itu kemudian terakumulasi ke berbagai aktifitas kebudayaan mereka.
Terlihat dari kehidupan masyarakatnya yang melompat dari upacara adat ke upacara
adat, legenda, hidup, dan mitos yang telah menjadi suatu sistem budaya (Mering,
2000).
Kain tenun ikat merupakan hasil
gagasan yang muncul dari proses kegiatan kebudayaan masyarakat Dayak. Kain
tenun lahir, diciptakan, dan kemudian diproses secara alami. Proses pembuatan
tenun ikat menggunakan aturan tertentu dan tradisional serta memakai
bahan-bahan alami yang berasal dari lingkungan yang terdapat di sekitar tempat
tinggal penenun.
Bahan-bahan dari alam
dimanfaatkan oleh penenun untuk proses menenun mulai dari proses peminyakan
benang, hingga pewarnaan benang. Suryati, wanita yang pernah menjabat sebagai
ketua penenun di Komunitas Penenun Rumah Betang
Ensaid Panjang, menggunakan lemak binatang yang dicampur dengan biji-bijian
yang telah ditumbuk halus, campuran bahan tersebut lantas direbus bersama
dengan air kelapa. Menurut Suryati air kelapa dapat membuat benang memiliki
daya serap kuat ketika hendak diwarnai. Warna yang khas dari kain tenun ikat
Dayak Sintang adalah warna merah kecokelatan dan biru kehitaman. Beberapa penenun
mendapatkan bahan-bahan pewarna alam dari lingkungan di sekitar rumah betang. Seperti untuk menghasilkan warna
merah didapat dari akar mengkudu, tanaman tarum atau indigo untuk warna biru
kehitaman, warna kuning dari kunyit, dan warna hijau merupakan campuran kunyit
dan indigo. Bahan-bahan pewarna tersebut dibersihkan terlebih dahulu,
dikeringkan dan ditumbuk, kemudian barulah direbus untuk mendapatkan kepekatan
warna.
Setting pedalaman dan jauh dari
perkotaan melahirkan pemaknaan pada penenun bahwa pentingnya menjaga
keseimbangan tatanan kehidupan agar tetap selaras. Mengakibatkan penenun yang
tinggal di rumah betang akhirnya
terbiasa hidup menggantungkan diri dari alam. Terlihat dari pola hidup
masyarakatnya, contohnya kebutuhan makan mereka. Sayur yang mereka makan adalah
hasil dari ladang dan tumbuhan yang mereka tanam, kemudian lauk dari hewan
ternak yang dipelihara dan buah-buahan berasal dari ladang. Demikian juga zat pewarna
yang digunakan oleh pernenun rumah betang
diambil dari tumbuh-tumbuhan di sekitar lingkungan mereka.
Motif-motif tenun ikat
yang didapatkan oleh penenun berasal dari nenek moyang. Para pendahulu
meneruskan berbagai motif pada generasi setelahnya secara turun temurun. Dalam
beberapa teks tradisi lisan (Dayak Ketungau dan Desa) terdapat rekaman biografi
atau bentuk lain dari kehidupan kain tenun ikat. Dalam tradisi lisan itulah
cerita-cerita tertentu mengenai tenun ikat menjadi satu dengan segala aspek kehidupan
manusia Dayak. Tradisi lisan itu pula terdapat berbagai pengetahuan dan adat
kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan (Mering, 2000).
Pentingnya
alam bagi penenun pada akhirnya mempengaruhi motif tenun ikat yang mereka buat.
Perilaku penenun yang menggantungkan diri pada alam, sehingga dalam tenun ikat
Dayak bermotifkan tanaman dan hewan yang berada di sekitar penenun. Seperti
tenun ikat dengan motif pakis, buah kelantang, dan kelangka yang sering dibuat oleh Suryati, tanaman-tanaman tersebut
adalah tanaman yang terdapat disekitar tempat tinggalnya. Pakis adalah tanaman yang bisa dimakan,
banyak orang Dayak memakan tanaman pakis. Bentuk tanaman pakis yang melengkung
sering dibuat oleh penenun sebagai motif tenun ikat. Selain tanaman, hewan juga
menjadi motif tenun ikat para penenun juga biasa menenun dengan motif ruwit. Menurut mereka untuk menenun
motif ruwit ini harus sepasang, yang
berarti sejenis ular yang sedang melingkar. Pucuk
rebung merupakan motif lain yang sering dibuat oleh penenun. Bagi beberapa
penenun bila pucuk rebung digunakan
sebagai motif dalam kain tenun dipercaya akan mendatangkan banyak rejeki, hal
tersebut juga diturunkan oleh nenek moyangnya. Hal ini membuat mereka sering
menenun tenun ikat dengan motif pucuk
rebung dan memadukannya dengan motif lain.
Penenun terbiasa hidup menggantungkan diri dari
alam mendorong pemaknaan bahwa keseimbangan tatanan
kehidupan agar tetap selaras harus dijaga. Akhirnya pemaknaan tersebut mempengaruhi perilaku penenun yang tertuang
dalam bentuk motif tenun ikat. Alam
menjadi sumber inspirasi dari motif tenun ikat yang mereka buat. Tumbuhan dan
hewan yang ada disekitar lingkungan rumah betang
tertuang dalam motif-motif tenun ikat yang mereka buat. Hal ini dibenarkan oleh
Cala, seorang staff umum koperasi JMM (Jasa Menenun Mandiri) yang menyatakan bahwa masyarakat Dayak hidup berusaha menjaga harmoni dengan alam, dan hal itu
tertuang dalam motif-motif tenun ikat yang mereka buat. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Maessen
(2010) bahwa filosofi kehidupan bumi terkandung dalam setiap helai tenun ikat
Dayak.
Manusia
Dayak seperti yang dinyatakan oleh Mering (2000) telah mengalami berbagai
pengalaman dengan alam, kemudian mereka dituntun kepada suatu penemuan-penemuan
serta pemahaman baik secara individu maupun bersama-sama dalam suatu
masyarakat. Melalui proses tertentu akan melahirkan pemahaman-pemahaman
bagaimana menjalani hidup dan kehidupan di alam lingkungannya. Pada akhirnya
keberadaan tenun ikat sebagai wujud maupun konsep budaya yang merupakan blue print kehidupan manusia Dayak yang
tampak sebagai satu kesatuan bersama sekian ribu milyar gugus partikel alam
yang ada di jagad ini.
Referensi :
Mering, Alexsander. 2000, ”Tenun Ikat Dayak : Ekspresi Kosmologi
Manusia Dayak”. Makalah Seminar mengenai Restitusi dan Revitalisasi
Kebudayaan Dayak, Pontianak pada Rabu, 14 Juni 2000.
Maessen, Jacques. 2009,
Filosofi Kehidupan Sintang, Traveler, Vol. 1 no. 3:63.
artikelnya keren gan , makasih infonya
BalasHapus