Rabu, 01 Oktober 2014

Ritual selama proses pembuatan tenun ikat dan pantangan yang menyertainya



Proses pembuatan tenun ikat merupakan serangkaian upacara yang sangat pelik, ketat dalam aturan dan terdapat pantangan yang harus ditaati oleh penenun dan bila dilanggar sama saja berarti sebuah dosa yang akan merusak tatanan keseimbangan jagat. Terdapat ritual-ritual yang harus dilakukan oleh penenun baik sebelum maupun selama proses menenun. Pada awal ketika wanita Dayak akan menenun untuk pertama kalinya, ia harus memakai baju adat yang terbuat dari tenun ikat. Wanita yang akan menenun untuk pertama kali harus mengenakan baju adat agar jiwa penenun kuat. Demikian pula saat proses peminyakan benang, penenun harus mengenakan rok yang terbuat dari tenun ikat yang disebut ngantak, disertai bunga ditelinganya sebagai simbol kehidupan manusia. Hal ini dilakukan oleh penenun untuk menghormati nenek moyang. Ritual lain yang harus dilakukan adalah pada saat proses pencampuran hati binatang dan lemak hewan tertentu dengan beberapa zat pewarna tertentu tidak boleh disaksikan oleh orang lain. Selain itu selama proses pewarnaan benang berlangsung, penenun harus meletakkan sesaji pada dulang benang dengan tujuan agar penenun dilindungi selama proses pewarnaan.
Pada jaman dahulu saat menunggu benang yang telah dingaos penenun biasanya melakukan bekanduk dan bekana. Kain tenun adalah salah satu bentuk dari lambang tuturan dan dalam tradisi lisan terdapat cerita-cerita tertentu mengenai tenun ikat yang telah menjadi satu dengan segala aspek kehidupan masyarakat Dayak. Kana yang merupakan bagian dari tradisi lisan Daya Desa berbentuk cerita lirik, semacam syair panjang yang dituturkan oleh orang-orang tertentu. Menurut Mering (2000) bekana sangat erat kaitannya dengan proses penciptaan tenun ikat Dayak. Pada sebuah cerita kana dalam lirik-lirik syairnya maka ditemukanlah suatu peristiwa mengapa dan bagaimana tenun ikat tercipta, kegunaanya baik dalam hal bentuk seperti kain bidang, kumbu’ dan selampai, maupun motifnya seperti naga, sisik langit dan sebagainya. Juga terdapat aturan mana motif yang terlarang dan motif-motif yang boleh dicontoh oleh manusia. Pada sebuah cerita kana sering memberikan inspirasi bagi para penenun dalam penyelesaian tenunannya. Kana dapat membangkitkan daya imajinasi para penenun. Menurut Nandai pada jaman dahulu para penenun bersama-sama menenun di ruai betang. Mereka menenun sambil mendengarkan kana yang dibawakan oleh ahli kana yang sengaja diundang ke rumah betang.
Proses penciptaan, kegunaan, dan pemeliharaan tenun ikat mengacu pada hukum keseimbangan alam yaitu berupa sesaji, upacara adat, dan sikap hidup. Terlihat pula dari adanya aturan setelah menyelesaikan kain tenunnya, penenun harus melakukan sengkelan yakni menghantarkan sesaji berupa makanan untuk menghormati nenek moyang. Sengkelan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan oleh penenun setelah menyelesaikan kain tenunannya hal ini bertujuan untuk menghormati nenek moyang dan dewa-dewi serta roh lain agar melindungi penenun, sehingga dalam menenun mendapatkan kekuatan tertentu. Penenun mempercayai bahwa dengan kekuatan Petara akan membangkitkan semangat penenun dalam bekerja dan akan memperoleh hasil tenunan yang memuaskan.
Proses yang dilakukan penenun selama proses menenun sama dengan konsep komunikasi tradisional, yang menyatakan bahwa komunikasi tradisional dipakai untuk kegiatan komunikasi yang menggunakan unsur tradisi. Hal tersebut berkaitan dengan kegiatan yang didasarkan dari warisan yang diperoleh oleh satu generasi dari generasi sebelumnya. Sering pula disebut sebagai naluri, sesuatu yang diperoleh dari nenek moyangnya. Istilah naluri yang dimaksud berbeda dengan insting, sebab insting diperoleh secara alamiah (Siregar, 1990:55).
Terdapat dua hal dari tradisi yang berkaitan dengan kegiatan komunikasi, yaitu media yang digunakan dan mitos yang akan disampaikan. Media biasa dikenal sebagai kegiatan yang merupakan ritual sosial. Dalam komunitas penenun rumah betang dikenal beberapa ritual sosial seperti sengkelan, ritual yang dilakukan setelah membuat tenun dimana dalam upacara tersebut dilakukan beberapa kegiatan yang bermakna mistis. Adanya kepercayaan bagi penenun bahwa nenek moyang dan dewa-dewi serta roh-roh baik telah melindungi dan memberkati mereka. Oleh karena itu penenun dapat menyelesaikan tenunan mereka dengan baik.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa proses pembuatan tenun ikat merupakan serangkaian upacara yang sangat pelik, ketat dalam aturan dan terdapat pantangan yang harus ditaati oleh penenun dan bila dilanggar sama saja berarti sebuah dosa yang akan merusak tatanan keseimbangan jagat. Pada saat ngaos, penenun yang menggunakan minyak ular harus mampu menjaganya hingga sehari semalam dan tidak boleh tertidur. Bila penenun tidak mampu menjaganya maka akan mengakibatkan penenun tersebut sakit bahkan hingga meninggal. Terdapat aturan lain pula yaitu adanya larangan menanyakan hasil warna yang diperoleh setelah benang mengalami proses pewarnaan. Penenun tidak boleh menanyakan warna yang dihasilkan pada orang lain dan tidak boleh ada kata-kata pujian yang terlontar. Bila terlontar kata-kata pujian maka hasil warna tenun ikat akan buruk dan penenun harus memulai proses menenun dari awal bila tetap dilanjutkan maka hasil tenunan akan buruk.
Orang Dayak memiliki kemampuan secara naluriah untuk bersatu dan selaras dengan lingkungannya. Terlihat dalam tradisi lisan masyarakat Dayak, tervisualisasi pula dalam cerita mitos, upacara-upacara ritual, pantangan, maupun kearifan hidup yang secara logika sulit untuk diterangkan. Dalam tradisi di rumah betang para penenun mempunyai kepercayaan bila mereka menenun pada malam hari roh-roh jahat akan datang ke rumah betang mereka. Terdapat mitos dan pantangan dalam menenun yakni tidak boleh menenun pada malam hari dan bila dalam rumah betang ada orang yang meninggal. Bila aturan ini dilanggar maka penenun akan dikenai denda adat. Denda adat berupa satu ekor ayam kampung atau telur, beras satu canthing, piring dan mangkuk.
Beberapa pembuatan motif tenun ikat juga memiliki pantangan dan aturan. Seperti dijelaskan oleh Mering (2000) bahwa biasanya wanita Dayak yang akan melakukan proses menenun dalam jenis maupun motif tertentu harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan tertentu. Bila seorang penenun ingin menenun kain tenun kepua’ kumbu’ dengan motif buaya penenun tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut yaitu penenun telah menyelesaikan 5 buah kepua’ kumbu’ atau kepua’ bali terutama motif merinjan, merinjan bedan, merinjan tunsang, merinjan naiek. Selain itu terdapat pula syarat keturunan, dimana penenun tersebut harus merupakan keturunan seorang pengayau. Meskipun demikian, penenun juga masih harus memperhatikan faktor mimpi, usia, maupun si penenun pernah menjadi balu (janda). Hal ini sangat berkaitan erat dengan keselamatan si penenun sendiri maupun keluarga dan juga lingkungan masyarakat sekitar. Penenun yang berani melanggar hal-hal tersebut dipercaya akan terkena kutukan yang dapat berupa kematian, gila, sakit-sakitan, ataupun bencana alam.
Adanya pantangan yang ditaati oleh penenun dan mitos yang mengikutinya sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Van Peursen. Suatu ritus sosial dilakukan untuk menghidupkan mitos yang dimiliki oleh komunitas yang bersangkutan. Van Peursen (1976:37-42) menyatakan bahwa mitos merupakan sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu berintikan lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia. Mitos memberi arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan semacam pedoman bagi manusia untuk bertindak bijaksana. Terdapat beberapa fungsi dari mitos, yakni menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Melalui mitos manusia dibantu untuk dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Mitos memberi jaminan masa kini, dalam arti dengan mementaskan atau menghadirkan kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi dahulu, maka usaha serupa dijamin terjadi sekarang. Mitos juga berfungsi sebagai pengantara antara manusia dan daya-daya kekuatan alam; mitos memberikan pengetahuan tentang dunia; lewat mitos manusia primitif memperoleh keterangan-keterangan (Daeng, 2000:82).

Referensi
Mering, Alexsander. 2000, ”Tenun Ikat Dayak : Ekspresi Kosmologi Manusia Dayak”. Makalah Seminar mengenai Restitusi dan Revitalisasi Kebudayaan Dayak, Pontianak pada Rabu, 14 Juni 2000.

Siregar, Ashadi. 1990, Komunikasi Sosial Sebuah Pengantar, Badan Penelitian dan Pengembangan FISIP UGM, Yogyakarta.

Daeng, Hans J. 2000, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan; Tinjauan Antropologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar