Proses
pembuatan tenun ikat merupakan serangkaian upacara yang sangat pelik, ketat
dalam aturan dan terdapat pantangan yang harus ditaati oleh penenun dan bila
dilanggar sama saja berarti sebuah dosa yang akan merusak tatanan keseimbangan
jagat. Terdapat ritual-ritual yang harus dilakukan oleh penenun baik sebelum
maupun selama proses menenun. Pada awal ketika wanita Dayak akan menenun untuk
pertama kalinya, ia harus memakai baju adat yang terbuat dari tenun ikat.
Wanita yang akan menenun untuk pertama kali harus mengenakan baju adat agar
jiwa penenun kuat. Demikian pula saat proses peminyakan benang, penenun harus
mengenakan rok yang terbuat dari tenun ikat yang disebut ngantak, disertai bunga ditelinganya sebagai simbol kehidupan
manusia. Hal ini dilakukan oleh penenun untuk menghormati nenek moyang. Ritual
lain yang harus dilakukan adalah pada saat proses pencampuran hati binatang dan
lemak hewan tertentu dengan beberapa zat pewarna tertentu tidak boleh
disaksikan oleh orang lain. Selain itu selama proses pewarnaan benang
berlangsung, penenun harus meletakkan sesaji pada dulang benang dengan tujuan agar penenun dilindungi selama proses
pewarnaan.
Pada jaman dahulu saat menunggu
benang yang telah dingaos penenun
biasanya melakukan bekanduk dan bekana. Kain tenun adalah salah satu
bentuk dari lambang tuturan dan dalam tradisi lisan terdapat cerita-cerita
tertentu mengenai tenun ikat yang telah menjadi satu dengan segala aspek kehidupan
masyarakat Dayak. Kana yang merupakan
bagian dari tradisi lisan Daya Desa berbentuk cerita lirik, semacam syair
panjang yang dituturkan oleh orang-orang tertentu. Menurut Mering (2000) bekana sangat erat kaitannya dengan
proses penciptaan tenun ikat Dayak. Pada sebuah cerita kana dalam lirik-lirik syairnya maka ditemukanlah suatu peristiwa
mengapa dan bagaimana tenun ikat tercipta, kegunaanya baik dalam hal bentuk
seperti kain bidang, kumbu’ dan selampai, maupun motifnya seperti naga,
sisik langit dan sebagainya. Juga terdapat aturan mana motif yang terlarang dan
motif-motif yang boleh dicontoh oleh manusia. Pada sebuah cerita kana sering memberikan inspirasi bagi
para penenun dalam penyelesaian tenunannya. Kana
dapat membangkitkan daya imajinasi para penenun. Menurut Nandai pada jaman
dahulu para penenun bersama-sama menenun di ruai betang. Mereka menenun sambil
mendengarkan kana yang dibawakan oleh
ahli kana yang sengaja diundang ke
rumah betang.
Proses
penciptaan, kegunaan, dan pemeliharaan tenun ikat mengacu pada hukum
keseimbangan alam yaitu berupa sesaji, upacara adat, dan sikap hidup. Terlihat
pula dari adanya aturan setelah menyelesaikan kain tenunnya, penenun harus
melakukan sengkelan yakni
menghantarkan sesaji berupa makanan untuk menghormati nenek moyang. Sengkelan merupakan syarat mutlak yang
harus dilakukan oleh penenun setelah menyelesaikan kain tenunannya hal ini
bertujuan untuk menghormati nenek moyang dan dewa-dewi serta roh lain agar
melindungi penenun, sehingga dalam menenun mendapatkan kekuatan tertentu.
Penenun mempercayai bahwa dengan kekuatan Petara
akan membangkitkan semangat penenun dalam bekerja dan akan memperoleh hasil
tenunan yang memuaskan.
Proses yang dilakukan penenun
selama proses menenun sama dengan konsep komunikasi tradisional, yang
menyatakan bahwa komunikasi
tradisional dipakai untuk kegiatan komunikasi yang menggunakan unsur tradisi.
Hal tersebut berkaitan dengan kegiatan yang didasarkan dari warisan yang
diperoleh oleh satu generasi dari generasi sebelumnya. Sering pula disebut
sebagai naluri, sesuatu yang diperoleh dari nenek moyangnya. Istilah naluri
yang dimaksud berbeda dengan insting, sebab insting diperoleh secara alamiah (Siregar,
1990:55).
Terdapat dua hal dari tradisi yang berkaitan
dengan kegiatan komunikasi, yaitu media yang digunakan dan mitos yang akan
disampaikan. Media biasa dikenal sebagai kegiatan yang merupakan ritual sosial.
Dalam komunitas penenun rumah betang dikenal
beberapa ritual sosial seperti sengkelan, ritual yang dilakukan setelah
membuat tenun dimana dalam upacara tersebut dilakukan
beberapa kegiatan yang bermakna mistis. Adanya kepercayaan bagi penenun bahwa
nenek moyang dan dewa-dewi serta roh-roh baik telah melindungi dan memberkati
mereka. Oleh karena itu penenun dapat menyelesaikan tenunan mereka dengan baik.
Seperti
telah disebutkan sebelumnya bahwa proses pembuatan tenun ikat merupakan
serangkaian upacara yang sangat pelik, ketat dalam aturan dan terdapat
pantangan yang harus ditaati oleh penenun dan bila dilanggar sama saja berarti
sebuah dosa yang akan merusak tatanan keseimbangan jagat. Pada saat ngaos, penenun yang menggunakan minyak
ular harus mampu menjaganya hingga sehari semalam dan tidak boleh tertidur.
Bila penenun tidak mampu menjaganya maka akan mengakibatkan penenun tersebut
sakit bahkan hingga meninggal. Terdapat aturan lain pula yaitu adanya larangan
menanyakan hasil warna yang diperoleh setelah benang mengalami proses
pewarnaan. Penenun tidak boleh menanyakan warna yang dihasilkan pada orang lain
dan tidak boleh ada kata-kata pujian yang terlontar. Bila terlontar kata-kata
pujian maka hasil warna tenun ikat akan buruk dan penenun harus memulai proses
menenun dari awal bila tetap dilanjutkan maka hasil tenunan akan buruk.
Orang
Dayak memiliki kemampuan secara naluriah untuk bersatu dan selaras dengan
lingkungannya. Terlihat dalam tradisi lisan masyarakat Dayak, tervisualisasi
pula dalam cerita mitos, upacara-upacara ritual, pantangan, maupun kearifan
hidup yang secara logika sulit untuk diterangkan. Dalam tradisi di rumah betang para penenun mempunyai
kepercayaan bila mereka menenun pada malam hari roh-roh jahat akan datang ke
rumah betang mereka. Terdapat mitos
dan pantangan dalam menenun yakni tidak boleh menenun pada malam hari dan bila
dalam rumah betang ada orang yang
meninggal. Bila aturan ini dilanggar maka penenun akan dikenai denda adat.
Denda adat berupa satu ekor ayam kampung atau telur, beras satu canthing,
piring dan mangkuk.
Beberapa
pembuatan motif tenun ikat juga memiliki pantangan dan aturan. Seperti
dijelaskan oleh Mering (2000) bahwa biasanya wanita Dayak yang akan melakukan
proses menenun dalam jenis maupun motif tertentu harus terlebih dahulu memenuhi
persyaratan tertentu. Bila seorang penenun ingin menenun kain tenun kepua’ kumbu’ dengan motif buaya penenun
tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut yaitu
penenun telah menyelesaikan 5 buah kepua’
kumbu’ atau kepua’ bali terutama
motif merinjan, merinjan bedan, merinjan
tunsang, merinjan naiek. Selain itu terdapat pula syarat keturunan, dimana
penenun tersebut harus merupakan keturunan seorang pengayau. Meskipun demikian, penenun juga masih harus memperhatikan
faktor mimpi, usia, maupun si penenun pernah menjadi balu (janda). Hal ini sangat berkaitan erat dengan keselamatan si
penenun sendiri maupun keluarga dan juga lingkungan masyarakat sekitar. Penenun
yang berani melanggar hal-hal tersebut dipercaya akan terkena kutukan yang
dapat berupa kematian, gila, sakit-sakitan, ataupun bencana alam.
Adanya pantangan yang ditaati oleh penenun dan
mitos yang mengikutinya sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Van Peursen.
Suatu ritus sosial dilakukan untuk menghidupkan mitos yang dimiliki oleh
komunitas yang bersangkutan. Van Peursen (1976:37-42) menyatakan bahwa mitos
merupakan sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada
sekelompok orang. Cerita itu berintikan lambang-lambang yang mencetuskan
pengalaman manusia. Mitos memberi arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan
semacam pedoman bagi manusia untuk bertindak bijaksana. Terdapat beberapa
fungsi dari mitos, yakni menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib.
Melalui mitos manusia dibantu untuk dapat menghayati daya-daya itu sebagai
suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.
Mitos memberi jaminan masa kini, dalam arti dengan mementaskan atau
menghadirkan kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi dahulu, maka usaha
serupa dijamin terjadi sekarang. Mitos juga berfungsi sebagai pengantara antara
manusia dan daya-daya kekuatan alam; mitos memberikan pengetahuan tentang dunia;
lewat mitos manusia primitif memperoleh keterangan-keterangan (Daeng, 2000:82).
Referensi
Mering, Alexsander. 2000, ”Tenun Ikat Dayak : Ekspresi Kosmologi
Manusia Dayak”. Makalah Seminar mengenai Restitusi dan Revitalisasi
Kebudayaan Dayak, Pontianak pada Rabu, 14 Juni 2000.
Siregar, Ashadi. 1990, Komunikasi Sosial Sebuah Pengantar,
Badan Penelitian dan Pengembangan FISIP UGM, Yogyakarta.
Daeng, Hans J. 2000, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan; Tinjauan Antropologis, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar