Rabu, 01 Oktober 2014

Kebudayaan Suku Dayak


  Indonesia kaya akan unsur kebudayaan, dimana setiap daerah mempunyai ciri khas adat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kebudayaan Dayak yang terdapat di provinsi Kalimantan Barat. Sejak dahulu orang Dayak hidup di tengah hutan hingga jauh sampai ke pedalaman. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa mereka terasing dari dunia luar. Bahkan sebelum kebudayaan barat masuk di Indonesia, orang Dayak sudah melakukan perdagangan dengan bangsa Tiongkok. Hal ini terbukti dengan banyaknya tembikar yang tersimpan di rumah-rumah adat setempat. Keistimewaan lain yang dimiliki oleh orang Dayak adalah keunggulan dalam bidang kesenian. Sebagai contoh seni membuat patung, yang mencerminkan suatu pandangan hidup yang menarik. Selain itu terdapat juga kesenian yang lain berupa seni Tenun Ikat Dayak (Maurist di Kalimantan, Film Dokumenter, 1996).
Tenun ikat Dayak adalah suatu kekayaan budaya pada masyarakat Indonesia serta merupakan warisan dari generasi terdahulu, khususnya suku Dayak Ketungau dan Dayak Desa. Budaya menenun bagi sebagian masyarakat suku Dayak Desa yang bermukim di wilayah pedesaan Kabupaten Sintang, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kaum perempuan terutama masyarakat yang bermukim di rumah betang. Di dalam rumah adat yang telah berusia puluhan tahun itulah mereka hidup sederhana dan menenun dengan cara tradisional.
Tenun ikat Dayak nyaris punah dikarenakan tidak ada cukup orang yang mau memberikan perhatian pada keberadaan tenun ikat tersebut. Terutama apabila hal tersebut dikaitkan dengan munculnya perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat Dayak yang memaksa terjadinya perubahan kebudayaan termasuk budaya menenun secara tradisional. Disaat yang sama muncul pula sindiran bahwa menenun merupakan kegiatan masyarakat primitif dan terbelakang. Tidak sedikit pula pada akhirnya masyarakat Dayak malah kehilangan kebanggaan terhadap tradisi mereka.

 Gambar penenun sedang menenun
Meski demikian, diam-diam di balik rumah-rumah adat sejumlah perempuan Dayak tetap bertahan dalam tradisi mereka. Di ruai atau balai-balai rumah betang mereka berkumpul dan melakukan kegiatan menenun. Mereka beranggapan bila tenun ikat punah maka eksistensi mereka pun akan hilang pula. Hal tersebut berkaitan dengan adanya makna-makna yang terkandung di balik tenun ikat. Tenun ikat tidak hanya semata-mata merupakan kain yang digunakan untuk menggendong anak maupun keperluan praktis lainnya namun, tenun ikat mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar selembar kain.


Gambar siap menenun

Referensi :

Pusat Kateketik. 1996, Maurist di Kalimantan, Film Dokumenter, Studio Audio Visual Puskat, Yogyakarta.

Rumah Betang dan Tenun Ikat, Kesatuan yang Tak Dapat Dipisahkan



Banyak wanita-wanita Dayak melakukan kegiatan menenun di rumah betang. Menenun merupakan kegiatan tradisional yang sudah lama dilakukan secara turun temurun. Dalam masyarakat Dayak menenun hanya dilakukan oleh wanita dan akan dianggap pemalih atau tabu bila dilakukan oleh laki-laki. Tenun ini dilakukan dengan alat-alat dan teknologi sederhana. Bahan-bahan yang digunakan berasal dari lingkungan dan sekitar tempat tinggal mereka.
Peralatan yang pergunakan untuk menenun dibuat sendiri oleh warga secara sederhana. Menggunakan bahan-bahan dari alam yang tersedia di sekitar lingkungan pemukiman dan dengan bahan yang berkualitas baik seperti kayu ulin maupun rotan. Peralatan menenun terdiri dari alat untuk memisahkan serat kapas dengan bijinya, alat memintal (gasing), alat membentang benang, dan alat menenun. Alat tenun tradisional (gedokan) yang bisa dibawa kemana-mana, terdiri dari bagian-bagian hat, keletak, beliak, dan kelungan.

Gambar
Alat tenun yang digunakan oleh penenun

Apabila dilihat secara sepintas warna dan motif kain tenun ikat Sintang hampir sama dengan tenun Dayak Iban tetapi tenun ikat Dayak Sintang lebih dominan warna hitam dan merah. Tenun Dayak Iban memiliki desain motif yang cenderung figuratif dan jelas. Tenun ikat Sintang memiliki desain motif cenderung abstrak.
Pada waktu lampau menenun adalah sebuah kewajiban bagi setiap perempuan dari Suku Dayak khususnya subsuku Dayak Desa. Hal tersebut dilakukan sebagai tuntutan atas pemenuhan kebutuhan akan pakaian serta keperluan adat istiadat. Kegiatan menenun menjadi sesuatu yang langka dan tidak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Dayak karena adanya perkembangan jaman dan teknologi. Menenun oleh sebagian kecil wanita Dayak dilakukan untuk mengisi waktu luang disela-sela kesibukan kegiatan menoreh, sehingga pada akhirnya memerlukan cukup banyak waktu untuk menghasilkan kain tenun.
Budaya menenun merupakan kebudayaan yang diwariskan oleh generasi terdahulu yang mempunyai keunikan, nilai seni, dan sejarah yang tinggi. Tahapan untuk menghasilkan sebuah karya kain tenun ikat dimulai dari penanaman kapas, pembuatan benang (memintal), ngaos (peminyakan benang), mewarna/mencelup, mengikat motif, menenun, dan menjadikan sebuah pakaian adat merupakan rangkaian proses yang panjang. Dari beberapa tahapan tersebut dilakukan ritual-ritual tertentu yang dipercaya sebagai roh untuk membangkitkan semangat dalam bekerja maupun untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Ini merupakan tradisi dan kebudayaan dari leluhur masyarakat suku Dayak Desa yang dilakukan puluhan tahun silam.


Gambar 2. Tenun yang sedang diikat.

Rumah Betang Desa Ensaid Panjang



Rumah betang terdapat di Dusun Rentap Selatan, Desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Rumah betang ini terletak sekitar 450 km dari Pontianak. Bangunan yang biasa dikenal dengan sebutan Rumah Betang Ensaid Panjang memiliki panjang sekitar 127 meter dan lebar 16 meter. Rumah betang ini dibangun pertama kali pada tahun 1986. Saat ini rumah betang Ensaid Panjang dihuni 99 jiwa dari 26 kepala keluarga dengan 28 bilik.
Rumah betang Ensaid Panjang berdiri di atas tiang penyanggah dari kayu, kayu tersebut biasanya merupakan kayu belian (Eusideroxylon zwagerii) dan atap terbuat dari sirap. Terdapat pagar yang menyatu dengan rumah betang pada bagian depan rumah. Pagar itu disebut pagar air yang tersusun dari kayu-kayu bulat kecil. Bagian tengah rumah betang biasanya disebut ruai merupakan ruangan yang cukup lebar dan bentuknya memanjang. Ruangan ini untuk aktivitas warga dan tempat berkumpul untuk mengadakan berbagai kegiatan. Lantai pada ruangan ini biasanya berbentuk kayu bulat kecil terbuat dari pohon jengger atau papan. Tempat duduk yang terdapat di tempat ini panjangnya 2-4 meter disebut empanggung dan terletak menempel di pagar air.

 Gambar Rumah betang Ensaid Panjang.
 
Dalam rumah betang, tempat untuk masing-masing keluarga tinggal disebut bilik. Lebar masing-masing bilik 4-6 meter dan di dalamnya terdapat ruang tamu, kamar tidur, dan dapur. Pada jaman dahulu dapur di setiap bilik terletak di depan dan dekat dengan pintu. Pada sekarang ini dapur ditempatkan di belakang rumah. Pada depan bilik dindingnya menggunakan kulit pohon meranti (Shorea sp) selain papan. Terdapat lantai dari papan diantara bilik dan ruai serta posisinya pun lebih rendah yang disebut telok. Telok biasanya digunakan warga untuk berjalan dan untuk menumbuk padi.


Gambar 2. Ruai dalam rumah betang

Pada jaman dahulu rumah betang dibuat tinggi sekitar 5-7 meter, hal ini dimaksudkan untuk menangkal tombak musuh. Agar mudah dalam penjagaan maka tangga pada rumah betang pun hanya dibuat dua buah dan terletak di samping kanan dan kiri rumah. Setelah tidak ada perang antarsuku, rumah betang pun dibangun lebih rendah yakni 1,5 meter dari atas tanah. Tangga pada rumah betang pun sudah lebih dari dua dan diletakkan di depan rumah.


 Gambar 3. Suasana di rumah betang.
 
Lokasi rumah betang Ensaid Panjang berada di tembawang Riring Selinang. Dalam bahasa suku Dayak Desa riring berarti miring, sedangkan Selinang merupakan nama anak sungai yang berada tepat di depan rumah betang. Sebelum pindah ke Riring Selinang, rumah betang Ensaid Panjang dibangun di tembawang langkar dan dihuni oleh 22 kepala keluarga (Armayadi, 2008:1).

Referensi

Armayadi, Dedy. 2008, ” Mengurai Budaya Rumah Betang Ensaid Panjang”, http://dedy armayadi.blogspot.com/.